Mati Syahid dan Husnul Khotimah - Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 154-155
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam
Mati Syahid dan Husnul Khotimah – Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 154-155 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan RodjaTV pada Selasa, 29 Sya’ban 1440 H / 05 Maret 2019 M.
Kajian Tentang Mati Syahid dan Husnul Khotimah – Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 154-155
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَن يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَـٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ ﴿١٥٤﴾
“Dan janganlah kalian mengatakan untuk orang yang terbunuh di jalan Allah (mati di medan perang/mati syahid) bahwa mereka itu mati, mereka itu hidup, akan tetapi kalian tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah[2]: 154)
Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk mengatakan bahwa orang yang meninggal di jalan Allah, orang yang terbunuh di medan perang karena mempertahankan agama Allah itu sebagai orang yang mati. Akan tetapi Allah mengatakan bahwa mereka itu hidup di alam barzakh.
Hidup ada dua macam. Ada kehidupan dunia dan ada kehidupan alam barzakh. Yang dimaksud di dalam ayat ini bahwa “mereka hidup”, yaitu hidup dengan kehidupan alam barzah, bukan kehidupan dalam artian hidup di dunia. Walaupun memang dua-duanya disebut dengan hidup. Tapi tidak mengharuskan ketika namanya sama-sama hidup, mengharuskan sama semuanya.
Manusia akan melewati 4 fase dalam kehidupannya; yang pertama yaitu fase janin, yang kedua fase dunia, yang ketiga fase kubur yang disebut dengan alam barzakh, dan yang keempat yaitu fase alam akhirat. Di dunia hidup, di alam barzakh hidup, di alam akhirat pun hidup. Walaupun sebagaimana sudah kita jelaskan bahwa hubungan antara badan dengan ruh dalam kehidupan dunia itu beda dengan hubungan badan dengan ruh dalam kehidupan alam barzakh dan dalam kehidupan akhirat.
Adapun di dunia, lebih dominan badan dibandingkan dengan ruh. Karena yang merasakan nikmat adalah badan. Adapun di alam kubur, maka lebih dominan ruh daripada badan. Terlebih kalau ternyata badan itu sudah menjadi hancur. Adapun di hari akhirat, maka hubungan antara badan dengan ruh sangat sempurna sekali.
Dari ayat ini kita ambil faidah, kata Syaikh Shalih Utsaimin Rahimahullah:
Pertama, larangan untuk mengatakan bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati secara mutlak. Siapa orang yang terbunuh di jalan Allah? Apakah orang yang terbunuh di jalan Allah itu orang yang dalam rangka membela fanatisme golongan? Bukan!
Ada seorang Sahabat bertanya ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Hai Rasulullah, ada orang yang berperang karena riya’ atau ingin dipuji. Ada orang yang berperang karena fanatik golongan. Ada lagi orang yang berperang karena marah. Mana yang di jalan Allah itu?” Apa kata Rasulullah?
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Siapa yang berperang agar kalimat Allah yang paling tinggi, maka itulah yang disebut dengan fi sabilillah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya kalau ada orang yang berdakwah tujuannya untuk meninggikan nama dirinya, (apakah ini) di jalan Allah? Bukan. Kalau ada orang yang tujuannya untuk meninggikan nama organisasinya, (apakah ini) di jalan Allah? Bukan. Kalau ada orang yang tujuannya untuk meninggikan partainya, (apakah ini) di jalan Allah? Bukan. Yang di jalan Allah yang mana? Yaitu yang agar kalimat Allah itu yang paling tinggi. Itu baru di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka kita berdakwah bukan kepada diri kita. Tapi yang kita tinggikan adalah kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala agar manusia beribadah hanya kepada Allah saja, tidak mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu baru di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Terkadang, ketika munculnya perkumpulan-perkumpulan, organisasi, yayasan dan yang lainnya, muncul fanatik terhadap organisasinya. Ketika fanatik organisasi telah kuat, akhirnya yang ingin selalu tonjolkan adalah kelompoknya, organisasinya. Akhirnya dia berbangga dengan organisasinya. Yang seperti ini akibatnya kita tidak lagi di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi ayat ini kata Syaikh Utsaimin, larangan untuk mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai orang yang mati secara mutlak. Adapun orang yang terbunuh karena sesuatu yang sifatnya konyol seperti tindakan-tindakan terorisme dan yang lainnya, maka itu jelas bukan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang terbunuh karena tawuran, mati konyol semuanya. Maka yang seperti ini boleh kita katakan mati. Tapi orang yang meninggal di jalan Allah, jangan dimutlakkan mati. Tapi kita katakan mereka kembali kepada rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, hidup di alam barzah, diberikan nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua, ayat ini memberikan peringatan supaya ikhlas. Dalam memperjuangkan agama ini harus ikhlas karena Allah. Jangan sekali-kali tujuannya untuk meninggikan kalimat fulan, menginginkan kalimat diri sendiri atau meninggikan yayasannya atau organisasinya atau yang lainnya. Itu semua tidak disebut ikhlas.
Makanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ
“Katakanlah: inilah jalanku, aku berdakwah kepada Allah.” (QS. Yusuf[12]: 108)
Apa maksudnya berdakwah kepada Allah? Artinya berdakwah kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan dakwah kepada kelompok saya dan yang lainnya.
Ketiga, penetapan akan adanya kehidupan orang-orang yang mati syahid. Akan tetapi kehidupan di sini adalah kehidupan alam barzah. Tidak sama dengan kehidupan dunia.
Siapa orang yang dikatakan mati syahid? Yaitu:
1. Orang yang mati di medan perang dalam perang yang syar’i, yang sesuai dengan syariat, yang memang itu jelas dinyatakan oleh para ulama bahwa itu memang jihad. Bukan seenaknya mengatakan jihad padahal ternyata bukan jihad sama sekali. Tentunya untuk memastikan si fulan mati syahid pun juga agak sulit. Sampai-sampai Imam Bukhari Rahimahullah membuat bab di dalam shahihnya dengan judul bab “tidak boleh dipastikan si fulan mati syahid”. Dibawakan suatu hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ada seorang laki-laki yang tiba-tiba terkena panah dan ia pun mati lalu kemudian ada seorang Sahabat berkata:
هَنِيئًا لَهُ الشَّهَادَةُ
“Selamat, dia mati syahid.”
Apa kata Rasulullah?
كَلَّا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عَلَيْهِ نَارًا أَخَذَهَا مِنْ الْغَنَائِمِ يَوْمَ خَيْبَرَ لَمْ تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ
“Tidak, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh ia akan dilahab oleh api neraka karena selimut dari ghanimah perang Khaibar yang diambilnya sebelum dibagikan” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Muslim, ada seorang laki-laki yang berperang begitu gagah beraninya di medan perang. Sampai ia berhasil banyak membunuh musuh. Maka para Sahabat kagum sama orang ini dengan keberaniannya, kegagahannya, tapi apa kata Rasulullah? “Dia penduduk api neraka.”
Lalu seorang Sahabat mengikutinya. Rupanya dia terluka parah. Saat dia sudah tidak kuat lagi, dia bunuh diri. Lalu Sahabat ini berkata, “Benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka kata Imam Bukhari, kita tidak bisa memastikan bahwa si Fulan pasti mati syahid. Kita hanya berharap saja mudah-mudahan dia mati syahid. Kalau ada orang meninggal disaat sedang sujud, bisa tidak kita pastikan dia mati husnul khatimah? Bisa? Dari mana kita tahu dia shalatnya ikhlas? Sulit. Bisa saja dia lagi shalat, sedang riya’, mengharapkan pujian manusia lalu meninggal. Seperti ini tentu su’ul khatimah. Kita hanya mendo’akan saja mudah-mudahan ia wafat dalam keadaan husnul khatimah.
Keempat, pahala Allah bagi orang yang beramal lebih agung dan lebih tinggi. Artinya orang beramal yang beramal shalih diberikan oleh Allah pahala yang lebih daripada amalannya.
Kita shalat berapa menit? Subhanallah pahalanya luar biasa tidak? Menggugurkan dosa-dosa, mengangkat derajat. Ketika ketika mengucapkan Alhamdulillah, berapa detik? Tapi apa kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
وَالْـحَمْدُ لِله تَـمَْلأُ الْـمِيْزَانَ
“Ucapan Alhamdulillah memenuhi timbangan.” (HR. Muslim)
Makanya pahala Allah itu lebih agung daripada amalan kita sendiri. Itu karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau bukan karunia Allah kepada kita, kenikmatan surga itu nggak bisa kita capai dengan amalan kita. Amalan kita sangat sedikit, sementara kenikmatan surga luar biasa.
Kelima, penetapan akan kehidupan alam barzakh. Dimana di sini Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang mati syahid itu hidup di sana. Dalam satu riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ
“Jiwa-jiwa mereka (para syuhada’) itu berada dalam burung hijau yang memiliki lentera-lentera yang bergelantungan di ‘Arsy. Burung-burung ini bebas terbang di surga kemudian kembali ke lentera-lentera itu.” (HR. Ahmad)
MaasyaAllah..
Keenam, penetapan akan adanya nikmat kubur. Apakah kuburan bisa disebut tempat peristirahatan yang terakhir? Seakan-akan kalau di kuburan sudah istirahat terakhir, selesai. Untuk orang yang beriman, betul bahwa kuburan tempat istirahat. Tapi bagi orang yang tidak beriman, disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam riwayat Imam Ahmad, Rasulullah sedang duduk bersama para Sahabatnya. Lewatlah jenazah seorang Mukmin. Apa kata Rasulullah?
مُسْتَرِيحٌ
“Dia istirahat”
Kemudian tak lama lewatlah jenazah seorang Yahudi, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مُسْتَرَاحٌ مِنْهُ
“Dia diperistirahatkan darinya”
Kemudian para Sahabat bertanya:
مَا الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ؟
“Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan “Dia beristirahat” dan “Dia diperistirahatkan”?
Kata Rasulullah:
الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ ، وَالْبِلَادُ ، وَالشَّجَر، وَالدَّوَابُّ
“Hamba Mukmin yang baik, dia beristirahat dari kelelahan ketika di dunia. Sementara hamba yang fasik, para hamba yang lain bisa beristirahat dari kejahatannya, termasuk negara, pepohonan, dan binatang.” (HR. Bukhari & Muslim).
Kenapa demikian? karena kekafirannya itu menyakiti mereka. Mereka tidak ridha dengan kekafiran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dari itu kuburan adalah penentu.
Utsman bin Affan pernah beliau ketika ziarah kubur, beliau menangis sejadi-jadinya. Ketika ditanya, “Hai Utsman, kenapa engkau menangis begitu?” Kata Utsman, “Karena aku mendengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ
“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi)
Berarti kuburan adalah penentu. Jika di kuburan selamat, setelahnya selamat. Jika di kuburan tidak selamat, setelahnya lebih berat kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Makanya kita oleh Rasulullah dianjurkan untuk ziarah kubur. Dalam rangka untuk mengingat akan kehidupan akhirat, bahwa kita akan meninggal, setiap kita pasti meninggal.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” (QS. Ali-Imran[3]: 185)
Siapa di dunia ini yang akan hidup kekal? Tidak ada. Pertanyaannya adalah apa yang kita siapkan untuk meninggalnya kita?
Kalau sekarang di dunia Alhamdulillah kita tidur di atas kasur yang empuk, kita merasa nikmat tidur di dunia. Yang kita pikirkan, nanti di alam barzah kita tidurnya enak apa tidak ya?
Ketujuh, bahwa alam barzah, alam ghaib itu kita tidak mengetahui bagaimana hakikatnya. Karena kita belum merasakan. Makanya Allah mengatakan dalam ayat tersebut:
بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَـٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ
“Justru mereka hidup, akan tetapi kalian belum merasakannya.”
Simak penjelasan lengkapnya pada menit ke-22:23
Download MP3 Kajian Tentang Mati Syahid dan Husnul Khotimah – Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 154-155
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/47083-mati-syahid-dan-khusnul-khotimah-tafsir-surat-al-baqarah-ayat-154-155/